Affirmasi Sayap Cinta Yatinah
Senja telah menyingsing, langit
kini mulai sayu menghilangkan warna biru. Adzan Asar telah lama berkumandang.
Disudut ruang perpustakaan terlihat seseorang tengah berdiri sambil sesekali
berjalan kea rah pintu menengok adakah seseorang yang datang. Raut cemas
tergambar jelas, bahkan kini pelupuk matanya mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba saja
terdengar langkah kaki menaiki anak tangga.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Wanita itu berjalan menuju pintu
masuk perpustakaan, terlihat seorang anak bertubuh kecil, dengan wajah pucat
pasi berlari menghampirinya.
“Yatinah…. Kamu dari mana aja?
Ini udah jam berapa coba?”
“Maaf mba, mba Ana sudah pulang
mba?”
“Ana udah pulang dari tadi, kamu
belum jawab pertanyaan ku. Kamu dari mana jam segini baru pulang?”
“Maaf mba tadi aku ketempat
kursus jadi agak lama”
“Ya Alloh Yatinah kamu ketempat
kursus nai sepeda, kenapa kamu gak bilang kalo kamu mau bikin kancing bajunya
di tempat kursus kalo kamu bilang aku kan bisa anterin kamu atau suruh orang buat
anterin kamu”
“Gak papa mba, aku gak mau
ngerepotin orang lain”
“Gak… pokoknya kamu gak boleh ke
tempat kursus naik sepeda lagi, itu jauh Yatinah… aku gak mau denger alasan
apapun”
-Flashback on-
Gundah….. haya helaan nafa pajang
yang dapat ku lakukan. Aku ingin sekali melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi, namun apa daya ketika ku tatap pelupuk ibu ku yang sayu tak berani ku
ungkapkan niat ku itu. Sekeras apapun aku berfikir hasilnya tetap nihil. Ibu ku
kini telah renta, beliau sangat membutuhkan ku, tapi aku ingin mengejar
cita-cita ku walau kini kenyataannya hal itu semakin semu. Dengan kondisi ibu
yang sakit dan ketidak beradaan biaya aku harus berfikir kembali menarik suatu
garis lurus tentang semua ini. Aku percaya suatu masa semesta kembali ke Maha
Besar, opera Alloh pasti akan membawaku kedalam sayap cinta kasih Nya.
“Uhuk…uhuk…Ndok.., kamu kenapa?”
“Eh ibu, Yatinah gak
kenapa-kenapa kok bu. Ibu kan masih sakit kenapa keluar kamar?”
“Ibu hanya bosen saja dikamar
terus-terusan”
“Tapikan ibu harus istirahat biar
ibu cepet sembuh”
“Ibu ini sudah sembuh ndok, ibu
baik-baik saja bahkan ibu sehat wal afiyat”
“Eh ibu ini, dokternya kan
Yatinah jadi kalo Yatinah bilang ibu istirahat, berarti ibu harus istirahat,
hehe”
“Kamu ini ndok, sini ibu pengin peluk
kamu”
Akupun mendekati ibu yang tengah
duduk di sebuah kursi kayu yang usang dimakan usia. Kudekap tubuhnya yang renta, suhu tubuhnya
masih panas. Aku tahu bahwasanya ibu masih sakit, beliau hanya ingin aku tidak
khawatir padanya. Ibu membelai kepalaku dengan lembut.
“Ndok.. ibu minta maaf yah karena
ibu selalu merepotkan mu, ibu tidak bisa berbuat apa-apa untuk masa depan mu.
Maafkan ibu yah ndok”
“Kata siapa ibu nyusahin Yatinah,
ibu adalah harta paling berharga yang Yatinah miliki. Yatinahlah yang harusnya
minta maaf sama ibu, selama ini Yatinah tidak bisa berbuat apa-apa untuk ibu,
Yatinah tidak berbakti kepada ibu. Maafin Yatinah yah bu, Yatinah gak bisa buat
ibu bahagia”
“Gak ndok, baktimu sudah banyak
untuk ibu. Sekarang saatnya kamu mengejar cita-cita kamu. Ibu tidak dapat
memberikan mu apa-apa ndok”
“Ibu jangan kaya gitu, do’a ibu
jauh lebih berharga dibandingkan kemewahan dunia”
“Oh iya bu, Yatinah mau pergi
ketempat kursus”
“Iya kamu hati-hati yah, jangan
pulang terlalu sore”
“Sipp bu hehe… Yatinah berangkat
yah bu”
Ku kecup tangan ibuku, dan ku
ucapkan salam. Langkah ini terasa kian mantap menuju masjid, terbayang baju ibu
yang sebentar lagi selesai ku buat. Yah aku memeng bukan kursus computer apa
lagi kursus bahasa. Aku hanya kursus menjahit itupun karena kebaikan seorang
ustad di masjid yang mau menanggung biayanya. Aku ingin sekali memberikan baju
baru untuk ibu walaupun itu adalah baju jahitanku bukan baju mahal yang ada di
boutique maupun di toko-toko baju. Akhirnya aku sampai didepan gerbang masjid,
aku bergegas untuk menuju perpustakaan masjid. Sepertinya perpustakaan sedang
ramai, berbagai jenis sepatu dan sandal terhampar di pelataran. Ku tapaki anak
tangga dengan perlahan dan begitu aku telah sampai dibibir pintu ku ucapkan
salam, dan ternyata dugaanku benar ada banyak orang yang tengah bercengkrama
dengan mba Ari. Wajah-wajah itu tak asing lagi bagiku. Wajah-wajah para
mahasiswa yang bahagia. Mereka semua menoleh dan menjawab salam ku dengan
sumringah.
“Eh Yatinah, sini” sapa mereka hampir
bersamaan
“Lagi ada cara apa mba, kok asik
banget ngobrolnya?”
“Ye Yatinah kepo hehe..he..eh”
sahut mba Ari
“Gak kok, siapa juga yang kepo..”
“Kamu mau kemana? Kok bawa tas
segala”
“Ye mba Ari kepo he..he…he..”
Kami semua tertawa bersama. Aku senang apabila sedang berada di
perpustakaan. Bagi ku perpustakaan ini bukan hanya sebuah tempat untuk membaca
maupun belajar, lebih dari itu disinilah ku dapatkan sahabat sekaligus
keluarga.
“Mba Ana aku pinjem sepedanya
yah?”
“Gak boleh…he..he.., memangnya kamu
mau kemana?”
“Aku mau bikin kancing baju”
“Iya boleh ambil aja, tapi
hati-hati yah”
“Sipp.. mba, makasi. Aku
pergidilu yah. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Kuambil sepeda di sudut tempat
parkir. Dengan mengucap basmala, ku kayuh sepeda itu perlahan-lahan. Ku
telusuri jalan berliku, menanjak dan menurun, semuanya terasa lebih indah
ketika mulai terbayang dibenakku senyum ibu yang mengembang ketika ku berikan
baju ini. “Ayo semangat Yatinah” gumamku dalam hati. Jarak antara masjid dan
tempat kursus ku sekitar 10 km. Tetapi hal itu tidak menyurutkan niat ku untuk
menyelesaikn baju ibuku hari ini. Sesampainya ditempat kursus tak kudapati
seseorangpun kecuali bu Tati. Aku mengutarakan niat ku untuk membuat kancing
baju dan Alhamdulillah ibu Tati mmengizinkanku untuk membuatnya. Aku larut
dalam keasikan menyelesaikan baju untuk ibuku.
“Maaf Yatinah, tempat kursusnya
mau saya tutup. Soalnya sudah jamnya tutup”
“Oh iya bu. Maaf yah bu saya jadi
merepotkan ibu”
“Gak papa”
Akupun berpamitan kepada bu Tati,
ternyata fajar telah kembali keperaduan. Aku harus bergegas ke masjid, mba Ana
pasti sedang menunggu ku. Ku kayu sepeda secepat mungkin. Aku ragu dapat sampai
ke masjid tepat waktu. Jantungku berdegup kencang, bulir-bulir keringat mulai
membasahi pipiku. Ya Alloh bantulah aku, perlambatlah jalanya waktu. Aku makin
gugup.
“Alloh hu akbar” jeritku kencang.
Sebuah mobil menyerempetku dari samping jalan. Ya Alloh, aku takut. Nyeri
kurasakan di persendian kakiku, sebuah luka kecil menyeringai dari mata kakiku,
perih. Tapi untungnya aku hanya terjatuh kedalam selokan, dan sepedanya tetap
utuh. Semoga saja tidak terjadi kerusakan. Ku coba untuk bangkit namun kaki ini
masih mengaduh sakit. Ku periksa sepeda mba Ana, sepertinya ada sesuatu yang
terlupa. “Ya Alloh baju ibu” Baju itu tak kujumpai lagi di keranjang depan
sepeda. Ku edarkan pandangan ke segala penjuru yang dapat ku jangkau. Mata ku
tertahan pada sebuah pohon kecil di seberang jalan. Kini kudapatkan baju ibu,
segerah aku berlari menuju baju itu, namun setelah ku teliti, rupa baju ini
telah berbeda, terdapat lubang besar di bagian punggung dan tangan sebelah
kanan. Kejadian tadi menerbangkan baju ini, dan sepertinya ranting pohon
menerima dengan sayatan. Aku hanya terdiam, tak kuasa ku tahan bulir bening
mulai berlari dari kelopak keheningan.
-flashback off-
Hari ini tanggal 21 April.
Sejatinya aku berniat untuk memberikan ibu sebuah baju. Sedih rasanya bila ku
ingat kembali peristiwa itu.” Seandainya saja aku lebih ber hati-hati” Gumam ku
dalam hati. Ku lanjutkan goresan-goresan lidi ini. Ku gerakan ke kanan dan kiri
agar sampah daun-daun ini dapat terkumpul. Membersihkan halaman masjid memang
bukan tugas ku, tapi selagi aku mampu aku ingin berbuat lebih. Toh ini tidak
akan mengganggu kewajibanku untuk mengasuh anak pak ustad. Mungkin bagi orang
lain masjid ini hanyalah tempat untuk beribadah tetapi bagiku disinilah aku
menapaki kehidupan.
“Yatinah..”
Rasanya tak asing suara itu,
sayup-sayup ku dengar decak langkah kaki semakin mendekat. Ku putar badanku
hingga 90 derajat. Dan ku dapati sosok yang tak asing tengah berjalan mendekati
ku. Ya beliau adalah mba Ari.
“Dalem mba, ada apa?”
“Kamu aku cariin dari tadi, gak
taunya ada disini”
“Memagnya ada apa mba”
“Sini duduk dulu”
Ku taruh sapuku.
“Ada apa mba? Kelihatanya ada
yang penting”
“Ini yatinah buat kamu” mba Ari
menyerahkan sebuah tas karton cantik dengan motif batik.
“Ini apa mba?”
“Buka aja”
“Ini baju mba?” Aku terkejut
setealah ku buka isi dari tas itu. Sebuah gamis batik, berlengan panjang serta
bermotif bunga dengan warna sedikit keunguan.
“Iya itu baju buat kamu”
“Loh mba ini baju bagus mba dan
ini masih baru”
“Gak papa, itu buat kamu.
Kebetulan aku belum pernah pakai jadi gak ada yang bakalan tau kalo itu baju
dari aku”
“Maaf mba tapi kena gak dikasikan
yang lebih memebutuhkan saja mba”
“Waktu aku udah gak banyak lagi
minggu depan aku harus pergi ke Batam, lagian dari ukuranya itu pas di kamu,
jadi terima aja”
Aku masih saja tercengang dengan
apa yang ada ditangan ku sekarang, sebuah gamis panjang. Aku tak tau harus
berkata apa lidah ku kelu.
“Makasi mba, ini baru pertama
kalinya aku dapet baju baru” Kupeluk mba Ari, sebagai rasa terimakasiku. Mba
Ari membalas pelukanku dengan hangat, beliau mengelus kepalaku dengan lembut.
“Terimakasi Ya Alloh” hati ini terus saja memuji kebesara-Nya.
Aku tak sabar ingin segerah
pulang. Di perjalanan pulang bayangan ibu selalu terngiang-ngiyang.
“Ibu pasti senang” batin ku.
Akhirnya kaki ini berhenti jua. Sebuah pintu kayu usang menyambutku. Ku ucapkan
salam dan langsung saja ku tuju kamar ibu di bagian belakang. Ternyata ibu
tidak ada di kamar. Kemanakah ibu gerangan. Aku keluar dari kamar dan ku tengok
pintu belakang. Terlihat seorang wanita paruh baya yang sedang duduk menikimati
udara senja.
“Assalamu’alaikum bu”
“Wa’alaikumsalam, eh ndok kamu
sudah pulang”
“Iya bu” ku kecup tangan ibu dan
kusandarkan kepalaku dibahunya.
“Ada apa ndok” ucap ibu lirih
“Bu, Yatinah punya sesuatu buat
ibu” Ku ulurkan tas karton itu kepada ibu.
“Ini apa ndok?”
“Itu baju buat ibu”
“Ya Alloh ndok, kamu ini ngapain
beliin ibu baju, baju ibu kan masih banyak saying uang kamu ndok”
“Ini rejeki dari Alloh bu, tadi
mba Ari memeberikan baju itu kepada Yatinah bu. Yatinah belum membutuhkannya
dan kelihatannya itu lebih cocok kalo di pakai ibu”
“Tapi ini mba Ari kasikan untuk
mu bukan untuk ibu”
“Gak papa bu, Yatinah percaya mba
Ari gak akan keberatan kalo baju itu untuk ibu”
Ibu tak berkata apa-apa lagi.
Beliau hanya memeluk dan mencium keningku. Aku tahu kalo ibu pasti sangat
terharu, betapa ibu sangat menyayangi ku. Takan pernah ku lupa senja sore ini.
Terimakasi ya Alloh, kau gantikan baju ibu ku dengan gamis yang begitu cantik.
Melalui uluran tangan mba Ari Engkau tunjukan kebesaran –Mu. Tiada yang tahu
bahwa scenario hidup yang Engkau tulis jauh lebih indah dibandingkan dengan
segala rencana ku. Thanks to Alloh.
Komentar
Posting Komentar