Bulan Kelabu (bagian 1)

Tak pernah terbanyangkan sebelumnya hal-hal ini dapat terjadi didalam hidup ku. Kejadian ini berawal di tanggal 1 Maret 2015. Hari ini adalah hari terakhir liburan ku, aku tak menginginkan hal-hal istimewa terjadi pada hari ini, yang ku inginkan hanya satu yaitu waktu berhenti di sini. Entahlah meskipun ku tahu hal itu tidak mungkin namun aku tetap saja menginginkannya. Aku tak ingin hari ini berganti dengan hari esok yang artinya aku harus kembali meninggalkan kediaman orang tua ku untuk menuntut ilmu. Ingin rasanya ku habiskan malam ini bersama ibunda ku tercinta, ke inginan yang sebenarnya sangat jarang menghinggapi hati ku. Malam itu jarum jam telah bergerak di angka 8 itu artinya hari telah beranjak malam. Seperti biasa aku bermain-main dengan laptop ku didalam kamar, tiba-tibas saja pintu kamarku terbuka. Terlihat sosok cantik nan anggun berjalan mendekati ku, ya itu adalah ibunda ku. Beliau duduk di sampingku dan membelai rambut ku. Lama ku rasa belaian lembut tangan bunda. Tak kusadari mata bunda berwarna merah dan berlinang air mata. Ku hadapkan wajah ku ke arah wajah bunda, rasa sendu tiba-tiba menyergap batin ku. Tak kuasa ku tatap wajah wanita yang telah melahirkan serta membesarkan ku. Beliau menangis, ku genggam tangannya.
"Bunda kenapa? Bunda sakit, dimana yang sakit?"
Bunda masih saja tak bergeming, air mata menganak sungai di pipi beliau. Ku coba untuk menghentikan tangisnya namun semu sia-sia, bunda tetap saja menangis.
"Bunda kenapa? Bunda jangan nangis. Gigi bunda tambah sakit, dimana yang sakit bun, sini biar ade lihat?"
"Sayang, bunda ga kuat.. rasanya sakit sayang"
"Bunda jangan nangis, bunda pasti kuat. Sebentar ya bunda, ade ambilkan air hangat untuk mengompres pipi bunda"
Ku bantu Bunda untuk merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Ku langkahkan kaki menuju dapur, kunyalahkan kompor dan ku masak air dalam sebuah panci kecil. Peluh membasahi tubuh ku, berbagai spekulasi bermunculan didalam otak ku, bayang-bayang wajah ayah berkelabat didalam benak ku. Ku tinggalkan kompor yang masih menyala, ku hampiri bunda didalam bilik ku. Beliau masih saja merintih kesakitan, ku genggam tangannya seta ku pijit-pijit sebisa ku. Aku tak pernah menangani orang sakit sebelumnya. Bunda lah yang selalu mengurus ku, sebelumnya bunda tak pernah sakit seperti ini. Apa lagi sakit gigi karena aku tahu pasti bunda rajin gosok gigi dan periksa gigi, bunda juga bukan seseorang yang menyukai makanan maupun minuman yang terlalu manis tapi kenapa malam ini bunda menangis dan merasakan sakit yang teramat sangat pada daerah pipi dan giginya.
"Bunda ga kuat sayang, rasanya sakit sekali"
"Bunda jangan ngomong kaya gitu, bunda pasti kuat. Bunda jangan berpikir macam-macam bunda pasti kuat"
"Tapi rasanya sakit..."
"Bunda jangan nangis, ade takut bunda, bunda jangan sakit nanti ade sama siapa kalo bunda sakit. Ade udah ga punya siapa-siapa keculai bunda. Ade ga bisa hidup tanpa bunda. Bunda harus kuat"
Bunda hanya merintih kesakitan, tak tega aku melihatnya. Aku pun berlar menuju dapur, ku tengok air yang tadi ku panaskan dalam panci ternyata airnya sudah mendidih. Kuraih botol kaca yang berada di lemari bawah dapur. Ku isi botol tersebut dengan air yang mendidih, ku tutup rapat-rapat dan ku lapisi bootol kaca tersebut dengan handuk. Tak butuh waktu lama untuk mencapai kamar ku. Ku serahkan botol tersebut kepada bunda, bunda menempekan botol tersebut ke pipinya, namun rasa sakit itu masih saja membuat air mata bunda menetes.
"Kenapa sakit sekali, laa haula wala kuwata ila billah"
Bunda terus saja melafalkan pujian-pujian kepada Alloh, meskipun air matanya tak terus saja mengalir. Pikiran ku benar-benar kacau, waktu seolah-olah enggan beranjak, malam enggan berganti dengan pagi. Aku benar-benar tak tega melihat bunda menahan rasa sakit ini. Sepanjang malam ku terjaga bersama bunda, rasa sedih dan takut kehilangan menguasai hati ku.
~.~
Aku terbangun ketika tak kudapati bunda diatas tempat tidur, rupanya bunda sedang menunaikan sholat subuh. Sayup-sayup ku dengar suara bunda yang terpekik tangis. Aku pun segera berwudu dan menunaikan sholat subuh. Seusai sholat ku hampiri bunda yang tengah duduk di ruang tengah, mata bunda sembab dan pipi beliaupun bengkak. Ku rasa bunda tak dapat memejamkan matanya semalam. Ku raih tangan bunda.
"Ayo bun kita kedokter"
Bunda masih saja mengis dan merintih, ku papah beliau menuju kamar untuk berganti pakaian. Ku tinggalkan beliau sebentar, ku raih kunci mobil di balik pintu, segera ku nyalahkan mobil untuk memanaskan mesinnya. Aku pun berganti pakaian dan mengambil beberapa lembar uang dari dalam tas ku, tak lupa ku bawa beberapa kartu kredit dan atm serta kartu rumah sakit tempat bunda biasa di rawat. Ku hampiri bunda didalam kamar.
"Ayo bun kita berangkat"
Bunda hanya menatap ku, tanpa sepatah kata pun. Ku papah tubuh bunda menuju mobil, ku bukakan pintu untuk bunda. Sengaja bunda ku tempatkan di kursi belakang agar lebih nyaman. Tubuh bunda sangat dingin, ku selimuti bunda engan jaket berbulu. Aku pun segera memasuki mobil. Rasa trauma dan bayang-banyang kecelakaan dua tahun yang lalu tak dapat menghalangi ku untuk mengemudi. Dalam benak ku hanya ada bunda, dan tak ada yang lainnya. Ku ijak pedal gas dan mobil pun mulai berjalan. Panik yang kurasakan tak membuat ku memper hatikan spedo meter. Aku menyetir dengan kecepatan diatas 80 km/jam, tujuan ku haya saku tempat praktek dokter Sulistio. Sesekali ku tengok bunda di kursi belakang, pipi tirus bunda masih saja basah dengan linagan air mata, aku pun menambah kecepatan mobil. Lalu lintas masih sedikit lengang, hanya sedikit mobil pribadi di sekitar jalan yang ku lalui. Ya waktu memang masih menunjukan pukul 4 pagi. Selang 20 menit akhirnya kami sampai di sebuah klinik gigi. Ku parkirkan mobil didepan pintu utama, aku pun turun dari mobil dan memencet bel beberapa kali, hingga akhirnya muncul seorang pria ber umur 45 tahun di depan ku, dokter Sulistio.
"Dokter, bunda sakit, beliau didalam mobil"
Sebelum dokter sulistio berkata-kata, ku bimbing beliau untuk menuju mobil. Tampak wajah  beliau amat panik setelah melihat kondisi bunda yang tengah tak sadarkan diri di dalam mobil. Dokterpun segera memanggil para perawat untuk mengevakuasi bunda ke dari dalam mobil. Tubuh ku masih enggan beranjak hingga ku dapati bunda di bawa masuk oleh para perawat. Seketika ku rasa gelap pandangan ku serta ringan tubuh ku. Aku pun terjatuh dan tak menyadari apapun di sekeliling ku.
~.~

Komentar

Postingan Populer